Sekolah KAMI
Minggu, November 30, 2008
Dilema Budaya Bugis-Makassar Mencegah HIV/AIDS
Seiring dengan perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan teknologi informasi serta mewabahnya konsumerisme khususnya di Sulawesi Selatan, maka arus masuknya budaya luar tak tertahankan.
Pergeseran pola pikir pun terjadi dalam lingkup masyarakat Sulawesi Selatan.
Ternyata perkembangan di bidang ekonomi tersebut, menurut pengamat budaya, Fecky Librian, dibarengi dengan pengrusakan nilai-nilai budaya yang sebelumnya dijunjung tinggi masyarakat Sulsel. Degradasi nilai budaya itu pun telah menjadi salah satu faktor non-teknis dalam penyebaran wabah global yang hingga hari ini belum ditemukan upaya pengobatannya.
"Di ibukota Sulsel misalya, dimana pusat perbelanjaan dan hiburan berkembang pesat tak pelak menjadikan Sulsel sebagai sasaran empuk masuknya pengaruh dari luar," tambah Fecky.
Wabah ini yaitu HIV/AIDS, dimana Sulsel mejadi salah satu daerah wabah di Kawasan Timur Indonesia. "Dari fenomena ini, diharapkan budaya daerah Bugis-Makassar yakni Siri' dapat menjadi benteng pertahanan diri masyarakat Sulsel," katanya.
Namun, tambah Fecky, Siri’ pulalah yang menjadi 'penghambat' dalam upaya pemerintah, LSM, dan organisasi lain yang berupaya untuk melakukan pencegahan penyebaran HIV/AIDS.
"Pembicaraan menyangkut penggunaan kondom, hubungan seks yang aman, dan pencegahan narkoba dengan penyuluhan-penyuluhan dianggap melanggar batas-batas wilayah Siri’ tadi," jelasnya.
Jika dalam suatu masyarakat, tambahnya, diadakan penyuluhan hubungan seks secara aman, maka masyarakat urung untuk mengikutinya dengan dalih masih punya Siri’ atau tidak ingin wilayah privasinya dilanggar.
Tapi ini menjadi hal yang bertolak belakang dengan melihat angka kejadian perilaku seks yang menyimpang di Sulsel. Siri’ seakan dilupakan ketika mereka berperilaku seks bebas, namun Siri’ pulalah yang dijadikan alasan untuk tidak mencoba mengetahui upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS yang lebih besar.
Menurut Fecky, Siri’ dapat menjadi senjata kita untuk mencegah tersebarnya HIV/AIDS dengan menempatkannya pada tataran nilai yang benar. Yaitu sebagai pertahanan diri untuk mengatakan tidak pada perilaku seks menyimpang dan penyalahgunaan Narkoba.
"Siri’ harus disingkirkan ketika kita memberikan pengetahuan tentang upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS dengan cara apapun," jelasnya.
Jadi kesimpulannya, bagaimana menempatkan segala sesuatu tersebut pada tempat yang sebenarnya sehingga tidak menjadi penghambat, melainkan menjadi faktor pendukung untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar