Sekolah KAMI
Selasa, Februari 16, 2010
STRATEGI DALAM MENYIAPKAN PERAWAT PROFFESIONAL YANG MAMPU BERSAING DI ERA GLOBALISASI
LU’AILIYUN NADHIROH
Abstract
In the era where number of educated unemployee rising sharply by year to year. There is an opportunity for Indonesia nurses to work a broad as a health professionals and enter the globalization era. Yet, still there are many constaint indelivering process. Based on this fact of situation, writer try to criticize, “The strategy tocreate professional nurse who can compete in globalization era”. Writer use a descriptif metode to determine the importance of many institution roles, such as government and nursing educational institute. Nursing educational institute had a great role in educational preparation. Therefore, the lecturers quality as well as the Institute quality it self played an important act in this field. While government roles is to provide a guiding framework in an intensive preparation training for nurse to work in foreign countries as a health professionals at global levels.
Key words: Professional nurse, Globalization eraAbstrak
Ditengah semakin meningkatnya pengangguran terdidik dari tahun ke tahun, terdapat suatu peluang bagi perawat di Indonesia untuk dapat dikirim ke luar negeri sebagai perawat professional, dan bersaing di Era Globalisasi. Namun masih ada banyak kendala untuk proses pengiriman tenaga perawat ke Luar Negeri. Dari latar belakang tersebut, penulis membahas tentang bagaimana strategi dalam menyiapkan perawat ke luar negeri yang mampu bersaing di era globalisasi. Penulis menggunakan metode penulisan deskriptif untuk menggambarkan bahwa pentingnya peran Lembaga Pendidikan, baik dari kualitas tenaga pendidik maupun kualitas lembaga pendidikan keperawatan dan perlu adanya peran serta pemerintah untuk memfasilitasi pelatihan intensif persiapan tenaga perawat ke luar negeri, untuk menghasilkan perawat professional yang mampu bersaing di era globalisasi.
Kata kunci : Perawat professional, era globalisasi
I. PENDAHULUAN
Saat ini rasio perbandingan jumlah perawat dan penduduk di Indonesia adalah 1:44, sebuah angka yang rendah jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Filipina (Wati, 2007). Meski jumlah tersebut rendah, namun sepertinya tidak memungkinkan lagi bagi healthcare provider untuk menerima tambahan perawat baru karena besaran beban keuangan.
Ditengah semakin meningkatnya pengangguran terdidik dari tahun ke tahun, terdapat suatu peluang bagi perawat di Indonesia untuk dapat dikirim ke luar negeri sebagai perawat professional, dan diakui oleh dunia. Perawat Indonesia mempunyai peluang untuk dapat bekerja di Timur tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Kuwait), bahkan sudah merambah ke negara-negara maju seperti Amerika serikat, Australia, benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), dan Jepang.
Kebutuhan Perawat Profesional (Registered Nurse) di dunia Barat (Amerika, Eropa, Australia, Canada, Jepang) meningkat dengan pesat, sejalan dengan penuaan usia baby boomer dan menurunnya keinginan menjadi Perawat pada generasi muda di Barat. Diperkirakan di Amerika saja kekurangan perawat profesional berkisar antara satu juta orang ditahun 2015 nanti.
Pada saat ini kekurangan perawat ditutup oleh perawat dari tiga negara Asia, yaitu: Filipina, China dan India. Padahal secara demografis, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang terbesar keempat didunia, sehingga peran Indonesia dalam memasok tenaga Perawat Profesional keluar negeri adalah hal yang dapat dan bisa dilaksanakan. Jadi dimana masalahnya ? Dari sudut supply terlihat besarnya jumlah Akademi Perawat yang mendidik Perawat D3, yang berjumlah lebih dari 1000 Akper diseluruh Indonesia. Jumlah Sarjana Keperawatan masih relatif kecil, karena Program Studi Sarjana Keperawatan baru sekitar duapuluhan, dan baru dimulai sejak 5 tahun yang lalu. Namun kelemahan mendasar ialah para lulusan Perawat ini standar kompetensinya tidak diakui oleh dunia Internasional. Sebagai contoh lulusan Perawat Malaysia diakui oleh Negara Commonwealth, dan lulusan Filipina langsung bisa bekerja di Amerika dan Eropa. Kelemahan kedua ialah kemampuan bahasa Inggris yang lemah, yang dibutuhkan dalam kompetisi tingkat internasional.
Berkenaan dengan ketrampilan perawat Indonesia yang masih kurang, terlihat dari segi skoring NCLEX (The National Council Licensure Examination) yang masih rendah. Ujian NCLEX sendiri merupakan prasyarat perawat Indonesia untuk dapat bekerja di luar negeri. Sebagai gambaran, skor yang diperoleh perawat Indonesia adalah angka 40. Padahal skoring yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50 sampai 70 dan di AS antara 70 sampai 80 (Syaifoel, 2008).
Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDM Kesehatan) melaporkan bahwa jumlah terbesar Tenaga Kesehatan Profesional Indonesia (TKPI) yang telah bekerja di luar negeri mulai 1989 sampai dengan 2003 adalah perawat (97.48% dari total sebanyak 2494 orang). Meskipun jumlah perawat yang bekerja di luar negeri menempati prosentase terbesar dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, masih terdapat beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian dan ditanggulangi mulai dari saat ini.( ferryefendi, 2007).
Dari latar belakang di atas, penulis akan mambahas tentang bagaimana menyiapkan perawat ke luar negeri yang mampu bersaing di era globalisasi, dan kemudian mencoba mengidentifikasi peran penting lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia agar dapat mempersiapkan perawat yang siap berkompetisi di era pasar global. Diharapkan tulisan dapat memberikan kontribusi dan sumbang saran bagi berbagai pihak terkait, terutama bagi lembaga pendidikan keperawatan serta organisasi profesi keperawatan dan juga pemerintah.
II. PEMBAHASAN / KAJIAN
A. Pendidikan Keperawatan di Indonesia
Indonesia baru mengembangkan program Sarjana Keperawatan sejak 5 tahun yang lalu, dan dalam program pendidikannya memisahkan Program Pendidikan Sarjana Keperawatan (4 tahun) dimana lulusannya bergelar SKp (Sarjana Keperawatan). Setelah lulus para SKp mengambil Program Pendidikan Profesi Keperawatan (1,5 tahun) yang lulusannya bergelar Ners. Masalahnya, Gelar SKp dan Ners ini hanya berlaku di Indonesia, dan tidak diakui dunia Internasional (Rijadi, 2005).
B. Perawat Profesional (Registered Nurse)
Perawat professional adalah seorang perawat yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan berkompetensi untuk melakukan pelayanan keperawatan klinik yang dibuktikan dengan sertifikat Registered Nurse (RN) melalui proses akreditasi (IRNI, 2008).
Sejalan dengan berkembangnya profesi keperawatan, berbagai jenis pendidikan yang menawarkan untuk menjadi Registered Nurse (perawat terdaftar) juga ikut berekembang. Pada awalnya sekolah-sekolah keperawatan milik rumah sakit dikembangkan untuk mendidik pearawat yang ingin bekerja di rumah sakit tersebut.
Karena keperawatan secara terus-menerus mengembangkan keilmuannya, proses pendidikan formal dikembangkan untuk menyakinkan konsistensi dari tingkat pendidikan dalam institusi. Konsistensi tersebut juga dibutuhkan untuk mendapat sertifikasi RN (Registered Nurse). Di amerika Serikat seorang individu dapat menjadi RN melalui program pendidikan tingkat dasar, diploma, atau sarjana. Sedangkan di Canada melalui program pendidikan dploma dan sarjana (Potter dan Perry, 2005).
C. Persyaratan Menjadi Perawat Profesional yang Mampu Bersaing di Era Globalisasi
Kebutuhan tenaga perawat di Negara maju seperti : Amerika, Canada, Eropa, Australia, Jepang dan Timur Tengah melonjak dengan drastis sejak tahun 1980. Diperkirakan bahwa kebutuhan tenaga perawat di Amerika ditahun 1980 sekitar 200,000 perawat, dan kebutuhan ini akan melonjak menjadi 500,000 perawat ditahun 2020, untuk mendukung kebutuhan pelayanan kesehatan di Amerika. Untuk seluruh Negara maju diatas kebutuhan perawat diperkirakan mencapai 1 juta perawat pada tahun 2020 (Rijadi, 2005).
Kebutuhan perawat ini dipenuhi oleh Perawat dari negara berkembang yang mempunyai tenaga keperawatan yang sesuai dengan standar dunia. Tiga sumber utama tenaga keperawatan dunia ialah dari Phillippine, India dan China. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, seharusnya mampu mengekspor tenaga keperawatan sesuai dengan kebutuhan dunia diatas. Mengapa kita tidak bisa mengirimkan tenaga keperawatan dengan standar dunia diatas?
Perawat Indonesia hingga saat ini belum bisa bersaing dengan perawat Philippine dan India, karena faktor Bahasa Inggris sebagai media komunikasi di negara tujuan. Bahasa Inggris ini diukur dengan Nilai Test IELTS (International English Language Testing System) dengan Nilai Overall adalah 6,5. Test IELTS terdiri dari 4 komponen: a. Mendengar (30 menit), b) Membaca (60 menit), c) Menulis (60 menit), dan d) Bicara (15 menit). Di Indonesia IELTS tes dilakukan di IDP Education Australia di jalan Kuningan Jakarta, dan British Council di Jakarta.
Faktor kedua, ialah Sertifikasi Keperawatan Internasional. Standar Perawat dalam dunia ialah lulusan Universitas yang bergelar Bachelor of Science in Nursing (BSN), dan mempunyai Sertifikasi RN (Registered Nurse). Perawat RN dari India, Malaysia akan diakui sertifikasinya oleh negara2 Commonwealth karena standar pendidikan keperawatannya sudah dibuat sama dengan standar Internasional. Demikian juga Perawat Phillippine, begitu mereka lulus BSN mereka mengambil Sertifikasi RN di Philippine yang diakui oleh dunia Internasional. Bahasa Inggris tidak menjadi masalah bagi mereka, karena mereka sehari-hari menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua mereka (Rijadi, 2005).
Untuk dapat mempersiapkan diri dalam test tulis keperawatan, maka secara Internasional semua negara mengadopsi model NCLEX-RN (The National Council Licensure Examination for Registered Nurses) yang tentu saja perlu dipelajari oleh perawat Indonesia. Test NCLEX-RN ini terdiri dari rangkaian pertanyaan simultan dalam konsep keperawatan yang terdiri dari 5 tahapan proses keperawatan (Pengkajian-Analisa-Perencanaan-Inplementasi-Evaluasi) dan 4 konsep katagori kebutuhan manusia (Safe effective care environtment – Health promotion and maintenance – Psychosocial integrity – Physiological Integrity) (Nurmatono, 2006).
Melihat persyaratan yang harus dipenuhi tersebut, kita dapat mengasumsikan bahwa tenaga perawat yang bekerja di luar negeri tentu merupakan perawat pilihan dan mempunyai kemampuan yang dapat di andalkan dalam memberikan perawatan yang berkualitas. Untuk menghasilkan perawat yang professional, tidak lepas dari peran lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dalam bertanggung jawab mempersiapkan perawat yang berkualitas dan mampu bersaing di era pasar global (Hapsari, 2006).
Kendala-kendala tersebut perlu untuk segera ditanggulangi selain faktor-faktor lain yang belum teridentifikasi dalam tulisan ini. Beranjak dari hal inilah sebenarnya lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dapat mulai ikut berperan aktif dalam merumuskan strategi yang tepat dalam mendidik calon perawat. Keberadaan sistem pendidikan tinggi keperawatan dengan berbagai keluarannya harus dapat memacu proses profesionalisasi keperawatan yang sedang berlangsung di Indonesia sehingga keperawatan sebagai profesi dapat berperan sepenuhnya dalam upaya pembangunan kesehatan masyarakat, serta berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan (Kusnanto, 2004).
III. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan adalah metode penulisan deskriptif. Menurut “Notoatmodjo, 1993” penulisan deskriptif adalah suatu metode penulisan yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskriptif tentang suatu keadaan secara obyektif. Metode penulisan deskriptif memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang.
Penulis menggambarkan fenomena tentang persiapan perawat ke luar negeri, dan kemudian mencoba mengidentifikasi peran penting lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia agar dapat mempersiapkan perawat yang siap berkompetisi di era pasar global. Penulisan ini dilakukan dengan menempuh langkah-langkah ; Pengumpulan data, klasifikasi, pengolahan analisis data, dan membuat kesimpulan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan pengumpulan data dengan mencari informasi dari kepustakaan (buku, Koran, majalah, browsing), mengenai hal-hal yang ada relevansinya dengan judul garapan (Arifin,2000).
Penulis mendapatkan sumber data dari buku dan internet. Setelah data terkumpuil, penulis menyeleksi data tersebut untuk kemudian dipakai dalam penyusunan karya ilmiah. Setelah menyeleksi, penulis melakukan pengolahan data untuk kemudian membuat analisis karya ilmiah.
IV. HASIL KAJIAN
Untuk menghasilkan perawat professional yang mampu memberikan pelayanan prima, merupakan tidak lepas dari tanggung jawab dari Lembaga pendidikan. Perawat di harapkan mampu memenuhi tuntutan masyarakat di dalam negeri, dan mempunyai kemampuan untuk bekerja lintas Negara dengan sistem perawatan kesehatan dan karakteristik masyarakat yang berbeda.
Hanya saja memang mesti ada target-target angka dari lembaga/pengelola penempatan perawat atau PPNI sebagai organisasi profesi dengan di dukung oleh pemerintah untuk memanfaat peluang kebutuhan Negara-negara maju akan perawat, misalnya dapat menjadikan hal ini dalam program yang terintegrasi. Sehingga banyaknya lulusan D3/S1 yang belum bekerja saat ini dapat dijembatani dengan Program Penempatan Perawat Indonesia diluar negeri yang terintegrasi dalam model konsursium nasional . Saat ini ada sekitar 250.000 perawat Indonesia, seandainya kita mematok target di tahun 2010 katakan saja 10%-nya bekerja diluar negeri, maka ada 25.000 perawat (saat ini baru 5.000) perawat Indonesia yang bekerja diluar negeri. Angka tersebut masih kecil sekali, jika dibandingkan 40% total perawat India dan Philipina yang bekerja di luar negaranya, dimana mereka memang terinspirasi sejak di perkuliahan (Nurmatono 2006).
A. Pengembangan Pendidikan Keperawatan
Untuk menghasilkan perawat professional yang mampu memberikan pelayanan prima, merupakan tidak lepas dari tanggung jawab dari Lembaga pendidikan. Perawat di harapkan mampu memenuhi tuntutan masyarakat di dalam negeri, dan mempunyai kemampuan untuk bekerja lintas Negara dengan sistem perawatan kesehatan dan karakteristik masyarakat yang berbeda.
Strategi yang perlu di kembangkan pada lembaga pendidikan keperawatan adalah peningkatan kualitas tenaga pendidik dan peningkatan kualitas lembaga pendidikan keperawatan (Hapsari, 2006).
1. Peningkatan kualitas tenaga pendidik
Tenaga pendidik merupakan role model perawat proffesional yang kompeten. Kompetensi yang dimaksud adalah dalam hal pengetahuan, pengalaman, ketrampilan dan kemampuan dalam melakukan praktek keperawatan. Kompetensi tersebut tentunya dimiliki oleh tenaga pendidik yang telah melaksanakan program pendidikan tinggi keperawatan minimal S1, mampu melakukan praktik klinik keperawatan. Kemampuan untuk terus belajar, baik yang terkait dengan ilmu keperawatan maupun disiplin ilmu lain, dan terus meningkatakan kemampuan berbahasa asing merupakan modal yang perlu di kuasai, karena di tuntut mampu mengaplikasikan kurikulum berbasis standard International.
Pendidik juga di tuntut untuk mengaolikasikan strategi mengajar yang dapat mengembangkan pola pikir kritis pada calon perawat sehingga mereka dapat bekerja di komunitas dan budaya yang beragam. Karena untuk keluar negeri, disamping ketrampilan dalam ilmu keperawatan itu sendiri, kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan, budaya dan sistem pelayanan kesehatan yang berbeda, juga sangat di perlukan supaya tidak terjadi shock kultur.
2. Peningkatan kualitas tenaga pendidik
Strategi yang menyangkut peningkatan kualitas lembaga pendidikan keperawatan meliputi upaya peningkatan fasilitas pembelajaran yang memungkinkan peserta didik memperoleh ilmu seluas mungkin, diantaranya adalah :
a. Sarana-prasarana laboratorium di sesuaikan dengan yang ada di RS dan/ komunitas, sehingga peserta didik berlatih pengetahuan dan ketrampilan sampai pada tingkat yang di harapkan. Sehingga menghasilkan mutu lulusan yan gsiap memberikan asuhan pelayanan keperawatan secara professional dan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
b. Melengkapi inventaris perpustakaan dengan buku-buku yang berasal dari dalam dan luar negeri. Sehingga staf akademik dan peserta didik dapat melatih kemampuan berbahasa inggris dan mendapat informasi yang luas khususnya standard kurikulum keperawatan professional.
c. Menggunakan model kurikulum berbasis kompetensi standard internasional. Sehingga klien mendapatkan asuhan keperawatan yang berkualitas sesuai dengan standard praktek. Keuntungan lain perawat mendapat perlindungan hukum bila muncul masalah hukum yang berhubungan dengan standard praktik keperawatan. Karena standard Internasional merupakan berdasarkan studi lapangan yang sudah melalui proses penelitian.
d. Menambah kurikulum bahasa Inggris, serta mengadakan kursus-kursus tambahan di luar jam belajar efektif. Misalnya ; English for Nurse, TOEFL, IELTS.
e. Menyediakan fasilitas teknologi informasi bagi staf akademik dan mahasiswa, yaitu;
Komputer bagi mahasiswa dengan rasio 1:5, sedangkan untuk staf akademik minimal 1 komputer
Tersedia jaringan internet yang menjamin komunikasi antara pimpinan institusi pendidikan keperawatan, staf akademik, dan mahasiswa.
Fasilitas-fasilitas tersebut penting sekali, karena di luar Negeri semua proses kegiatan pekerjaan menggunakan system computer, di samping itu memudahkan mahasiswa untuk mendapat informasi seluas mungkin yang mungkin tidak di dapat dalam proses pembelajaran.
f. Institusi pendidikan keperawatan harus mengalokasikan anggaran untuk menjamin aktivitas penelitian staf akademik, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian selama pendidikan, di bawah bimbingan staf akademik, dan penelitian yang dilakukan hendaknya bermanfaat untuk meningkatkan suasana akademik, memberikan dasar-dasar proses penelitian yang benar pada mahasiswa, perbaikan kurikulum dan upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat.
g. Institusi pendidikan keperawatan memberi kesempatan pada mahasiswa ke luar negeri dalam rangka pengayaan pengalaman belajar mahasiswa yang nantinya bisa di informasikan kepada rekan-rekan mahasiswa lainnya.
Segala kegiatan dan strategi yang dilaksanakan, tentunya perlu di evaluasi secara terus-menerus, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
B. Strategi Mewujudkan Sertifikasi RN
Proses pengiriman perawat ke luar Negeri tidak lepas dari peran serta Organisasi perawat (PPNI) serta pemerintah. Untuk menghasilkan perawat professional yang berkompetensi untuk bersaing di era globalisasi, perlu adanya strategi untuk mencapai target dalam peningkatan kompetensi keperawatan serta menghasilkan perawat professional yang mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara prima, dan yang paling penting adalah bisa di terima oleh dunia Internasional sebagai perawat professional yang telah teregistrasi dan mempunyai sertifikasi keperawatan Internasional.
Genderang revolusi budaya di pelayanan keperawatan sudah digulirkan dan disepakati baik di Negara-negara anggota APEC maupun Negara-negara ASEAN. Pada konferensi Internasional APEC bidang keperawatan pada 6-7 desember 2006 di Jakarta dan MRA on Nursing Services tingkat ASEAN pada tanggal 8 Desember 2006, disepakati bahwa : migrasi dan pelatihan tenaga keperawatan menggunakan satu tanda yaitu RN (Registered Nurse) sebagai tanda perawat tersebut adalah perawat professional, yang dianggap mampu dan memperoleh izin melakukan praktik dan pelayanan keperawatan. RN adalah satu-satunya tanda yang disepakati untuk tenaga keperawatan di Negara-negara ASEAN dan Negara-negara APEC, termasuk kesepakatan penggajian dan jenjang karir (IRNI,2008).
Dengan pertimbangan bahwa dunia Internasional memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mewujudkan RN di dalam negeri, maka tidak sulit untuk diwujudkan apabila mendapat dukungan politik dari pemimpin bangsa dan pemerintah dalam turut serta merumuskan dan melegalkan Undang-Undang yang dibutuhkan termasuk implementasinya akan mempercepat terbangunnya sistem RN di Indonesia (IRNI, 2008).
Apabila Strategi ini dapat dilaksanakan di Indonesia, maka perawat Indonesia mampu bersaing dan di akui oleh bangsa-bangsa di dunia, sebagai perawat professional. Dibawah ini merupakan skema sertifikasi profesi keperawatan yang dapat digunakan sebagai acuan oleh pemerintah dan organisasi perawat.
Gb1. IRNI 2008
Adapun strategi untuk mewujudkan Sertifikasi RN yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut :
1. Menggerakkan dan memberdayakan elemen-elemen bangsa (stake holder) untuk berperan serta aktif mewujudkan infrastruktur sistem sertifikasi RN. Elemen-elemen bangsa yang dilibatkan yaitu Legislatif, eksekutif seperti Presiden dan eksekutif di tingkat departemen dan pemerintah daerah. Asosiasi industri kesehatan, asosiasi jasa pengerah tenaga kerja dan berbagai puhak yang akan mendapatkan manfaat dengan terwujudnya registrasi RN, termasuk kalangan selebritis.
2. Melaksanakan studi banding ke Negara-negara yang telah mengimplementasikan sistem RN, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Kita juga bisa melakukan replikasi sistem dari Negara tersebut, apabila diperlukan dan dianggap paling bisa diterapkan di Indonesia.
3. Melaksanakan capacity Building dan konsolidasi terhadap kader-kader terbaik.
4. Membentuk Lembaga Diklat Profesi (LDP) Keperawatan, seperti LKKI (Lembaga Kajian Keperawatan Indonesia).
5. Membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi RN (LSP-RN).
6. Melakukan kajian-kajian strategis yang akan diplubikasikan dalam bentuk Nursing Leadership Seminar, media cetak, dan elektronik.
7. Membentuk Nursing Leadership Development Center (NLDC), yang dapat mengembangkan jiwa dan kemampuan kepemimpinanperawat (RN) lintas profesi dan lintas generasi (transkultural Leadership). Diharapkan semakin memantapkan sistem RN di Indonesia (IRNI, 2008).
C. Peningkatan Kompetensi Keperawatan
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan FK UGM dokter Sunartini SpAk ketika melantik 100 perawat mengatakan, untuk melengkapi kompetensi perawat profesional berstandar internasional perlu dikembangkan unit pelatihan. Unit itu bertujuan meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan dalam keperawatan (Suara Merdeka).
Langkah yang harus di lakukan adalah dengan membuka kelas khusus persiapan pemberangkatan perawat ke luar negeri, yang bertujuan membekali perawat-perawat dengan bahasa, kompetensi keperawatan, dan kultur negara-negara tujuan. Materi pelatihan di berikan oleh para perawat yang mempunyai pengalaman dari luar negeri dan telah menjadi perawat teregistrasi dengan sertifikasi Internasional (Registered Nurse).
Program pelatihan telah mengikuti program yang disepakati oleh lembaga-lembaga pengguna Internasional, dengan memberikan materi pelatihan tentang standard kompetensi Internasional. Program tersebut bisa berupa teori di kelas, maupun dengan praktek di Rumah Sakit maupun di klinik untuk memberikan pelatihan kompetensi dan menguatkan skill para perawat. Misalnya dengan memberikan latihan mengerjakan soal-soal ENCLEX, IELTS dari buku maupun melalui computer, karena dengan adanya latihan yang intensif mengerjakan soal-soal ENCLEX, di harapkan perawat dapat lulus test yang di syaratkan oleh Negara-negara pengguna.
Selanjutnya dengan mempelajari budaya yang ada di Negara tujuan, yang di harapkan perawat yang di kirim ke luar negeri tidak mengalami culture shock, dan yang terpenting melatih kesiapan fisik serta mental perawat yang akan berangkat ke luar Negeri. Pelatihan di akhiri dengan ujian yang diakui oleh Internasional, sehingga perawat lulusan dari pelatihan di akui oleh Internasional dan mampu memberikan pelayanan prima. Pelatihan tersebut akan terwujud dengan adanya dukungan dari pemerintah dengan memfasilitasi pelatihan secara maksimal.
V. KESIMPULAN
Ditengah semakin meningkatnya pengangguran terdidik dari tahun ke tahun, terdapat suatu peluang bagi perawat di Indonesia untuk dapat dikirim ke luar negeri sebagai perawat professional, dan diakui oleh dunia. Perawat Indonesia mempunyai peluang untuk dapat bekerja di Timur tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Kuwait), bahkan sudah merambah ke negara-negara maju seperti Amerika serikat, Australia, benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), dan Jepang.
Untuk menghasilkan perawat professional yang mampu memberikan pelayanan prima, merupakan tidak lepas dari tanggung jawab dari Lembaga pendidikan. Strategi yang perlu di kembangkan pada lembaga pendidikan keperawatan adalah peningkatan kualitas tenaga pendidik dan peningkatan kualitas lembaga pendidikan keperawatan. Hanya saja memang mesti ada target-target angka dari lembaga/pengelola penempatan perawat atau PPNI sebagai organisasi profesi dengan di dukung oleh pemerintah untuk memanfaat peluang kebutuhan Negara-negara maju akan perawat, Dengan pertimbangan bahwa dunia Internasional memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mewujudkan RN di dalam negeri, maka tidak sulit untuk diwujudkan apabila mendapat dukungan politik dari pemimpin bangsa dan pemerintah dalam turut serta merumuskan dan melegalkan Undang-Undang yang dibutuhkan termasuk implementasinya akan mempercepat terbangunnya sistem RN di Indonesia. Untuk melengkapi kompetensi perawat profesional berstandar internasional juga perlu dikembangkan unit pelatihan dengan mengadakan program pelatihan intensif untuk mempersiapkan perawat ke luar Negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E.Zainal. 2000. Dasar-Dasar Penulisan. Jakarta:PT Gramedia.
Ferryefendi, 2007, Prospek Kerja Perawat di Luar Negeri, [online], Available at URL http://ferryefendi.blogspot.com/2007/11/prospek-kerja-perawat-di-luar-negeri.html, [Accessed on 25 August 2008].
Hapsari, Dwi. Elsa, 2006, Menyiapkan Perawat yang Siap Berkompetisi di era Pasar Globalisasi, [online], Available at URL http//io.ppi.org/article.php?id=159, [Accessed on 05 April 2008].
IRNI (Ikatan registered Nurse Indonesia), 2008, Pokok-pokok pikiran dan cita-cita IRNI, Disajikan pada seminar nasional sosialisasi Industri Kesehatan dalam Standarisasi dan Sertifikasi Kompetensi Perawat Profesional. Jakarta, 5 juni 2008.
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktek Keperawatan Professional, Jakarta:EGC.
Nurmatono, 2006, Kiat-Kiat dan Pengetahuan Tambahan, [online], Available at URL http://nurmartono.blogspot.com/2006/06/kiat-kiat-dan-pengetahuan tambahan_27.html, [Accessed on 25 August 2008].
Syaifoel. hardy, 2008, Kualitas Nursing di Indonesia : Penggerogotan Sistematis Profesi, [online], Available at URL http://www.inna-ppni.or.id/index.php?name=News&file=print&sid=215, [Accessed on 25 August 2008].
Rijadi, Suprijanto, 2005, Kebutuhan Perawat Profesional (Registered Nurse) Didunia 2020 , http://blog.360.yahoo.com/blog-vKiuY48iaa99GCdma4TVq4U-?cq=1 , [Accessed on 19 september 2008].
Suara Merdeka, Jumlah Penganggur Terdidik Bertambah. http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/04/ked11.htm. [Accessed on 10 september 2008].
Wati, DNK, 2007, Migrasi perawat Indonesia ke Jepang: Sebuah Prediksi ke Depan, [Online], Available at URL http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-03-26-Migrasi-Perawat-Indonesia-ke-Jepang:-Sebuah-Prediksi-ke-Depan.shtml, [Accessed on 25 August 2008].
TRAUMA kEPALA
RAWATLAH KLIEN DENGAN HATI YANG CERIA DAN IKHLAS DENGAN PELAYANAN PRIMA!! ]
"Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah ke pada-Nya (Al-Baqarah:235)"
Jumat, 11 April 2008
trauma kepala
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya.
Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (PTIK).
B. Tujuan
Umum
Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
Khusus
Mengetahui pengertian trauma kepala.
Mengetahui etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala.
Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
C. Ruang Lingkup
Makalah ini akan membahas konsep teori tentang trauma kepala dan masalah keperawatan pasien dengan trauma kepala serta asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
Minor
SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
Sedang
SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat
SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.
Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Pathway
Trauma kepala
Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial
Manifestasi Klinis
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
Kebungungan
Iritabel
Pucat
Mual dan muntah
Pusing kepala
Terdapat hematoma
Kecemasan
Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
Komplikasi
Hemorrhagie
Infeksi
Edema
Herniasi
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
Rotgen Foto
CT Scan
MRI
Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
Observasi 24 jam
Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
Anak diistirahatkan atau tirah baring.
Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
Pemberian obat-obat analgetik.
Pembedahan bila ada indikasi.
Rencana Pemulangan
Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Sistem saraf :
Kesadaran à GCS.
Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Intervensi Keperawatan
Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi:
Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
tekanan pada vena leher.
pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
Monitor intake dan out put.
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang.
Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji intake dan out put.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
Berikan cairan intra vena sesuai program.
Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Anak terbebas dari injuri.
Intervensi:
Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
Berikan analgetik sesuai program.
Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan: Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
Kurangi rangsangan.
Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji adanya drainage pada area luka.
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan: Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi:
Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
Gunakan komunikasi terapeutik.
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi:
Lakukan latihan pergerakan (ROM).
Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
Kaji area kulit: adanya lecet.
Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.
BAB IV
KESIMPULAN
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.
Diposkan oleh Ners Semarang di 18:55
Asuhan Keperawatan Cedera Kepala (Trauma Capitis)
a. Definisi
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan ( accelerasi – decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk. Dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Prinsip – prinsip pada trauma kepala:
Ø Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya elatisitas untuk mengatasi adanya pukulan.
Ø Bila daya/toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur
Ø Berat/ringannya cedera tergantung pada:
1. Lokasi yang terpengaruh:
· Cedera kulit
· Cedera jaringan tulang
· Cedera jaringan otak
2. Keadaan kepala saat terjadi benturan
Ø Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ( TIK )
Ø TIK dipertahankan oleh 3 komponen:
1. Volume darah / pembuluh darah ( ± 75 – 150 ml )
2. Volume jaringan otak ( ± 1200 – 1400 ml )
3. Volume LCS ( ± 75 – 150 ml )
Masalah yang timbul dari trauma kepala:
trauma-capitis-1
b. Tipe Trauma Kepala
Tipe/macam-macam trauma kepala antara lain:
1.
Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dpat terjadi bila tulang tengkorak mauk ke dalam jaringan otak dan melukai:
Ø Merobek durameter ® LCS merembes
Ø Saraf otak
Ø Jaringan otak
Gejala fraktur basis:
Ø Battle sign
Ø Hemotympanum
Ø Periorbital echymosis
Ø Rhinorrhoe
Ø Orthorrhoe
Ø Brill hematom
2.
Trauma kepala tertutup
a Komosio
· Cidera kepala ringan.
· Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
· Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10 – 20 menit.
· Tanpa kerusakan otak permanen.
· Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
· Disorientasi sementara.
· Tidak ada gejala sisa.
· MRS kurang 48 jam ® kontrol 24 jam pertama, observasi tanda-tanda vital.
· Tidak ada terapi khusus.
· Istirahat mutlak ® setelah keluhan hilang coba mobiliasi brtahap, duduk ® berdiri ® pulang.
· Setelah pulang ® kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.
b Kontosio
· Ada memar otak.
· Perdarahan kecil lokal/difusi ® gangguan lokal ® perdarahan.
· Gejala :
- Gangguan kesadaran lebih lama
- Kelainan neurologik positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsi.
- Gejala TIK meningkat.
- Amnesia retrograd lebih nyata
c Hematom epidural
· Perdarahan antara tulang tengkorak dan durameter.
· Lokasi terering temporal dan frontal.
· Kategori talk and die.
· Sumber: pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
· Gejala: manifestasinya adanya desak ruang
Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ® periode Lucid (beberapa menit – beberapa jam ) ® penurunan kesadaran hebat ® koma, serebrasi, dekortisasi, pupil dan isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positif.
d. Hematom subdural
· Perdarahan antara durameter dan archnoid.
· Biasanya pecah vena ® akut, subakut, kronis.
· Akut :
- Gejala 24 – 48 jam
- Sering brhubungan dengan cidera otak dan medulla oblongata.
- PTIK meningkat
- Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.
· Sub akut
Berkembang 7 – 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala TIK meningkat ® kesadaran menurun.
· Kronis :
- Ringan, 2 minggu 3-4 bulan
- Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
- Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfgia.
e Hematom Intrakranial
· Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih
· Selalu diikuti oleh kontosio
· Penyebab: Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi – deselerasi mendadak.
Herniasi ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema local.
trauma-capitis-2
Karena adanya kompresi langsung pada batang otak → gejala pernapasan abnormal :
*
Chyne stokes
*
Hiperventilasi
*
Apneu
2. Sistem Kardiovaskuler
*
Trauma kepala → perubahn fungsi jantung : kontraksi, edema paru, tekanan vaskuler.
*
Perubahan saraf otonom pada fungsi ventrikel : Disritmia, Fibrilasi, Takikardia.
*
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis → terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel → curah jantung menurun → meningkatklan thanan ventrikel kiri → edema paru.
3. Sistem Metabolisme
*
Trauma kepala → cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah Nitrogen.
*
Dalam kedaan stress fisiologis.
trauma-capitis-3
trauma-capitis-4
2.3 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebal blood flow (CBF) adalah 50–60 ml/menit/100gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
trauma-capitis-5
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua:
1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-decelerasi otak) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi:
· Gegar kepala ringan
· Memar otak
· Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti:
· Hipotensi sistemik
· Hipoksia
· Hiperkapnea
· Udema otak
· Komplikai pernapasan
· Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
2.4 Gejala klinis
1. Jika klien sadar ® sakit kepala berat
2. Muntah proyektil
3. Papil edema
4. Kesadaran makin menurun
5. Perubahan tipe kesadaran
6. Tekanan darah menurun, bradikardia
7. Anisokor
8. Suhu tubuh yng sulit dikendalikan.
2.5 Penatalaksanaan
Observasi dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur
2. TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS
3. Body of system
a. Pernafasan ( B1 : Breathing )
Hidung : Kebersihan
Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernafasan, ronchi
di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan, nafas dangkal.
Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi, irama, gerakan cuping hidung, terdengar suara nafas tambahan bentuk dada, batuk
Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba sama antara kanan dan kiri dinding dada
Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada batas paru dan hepar.
Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru, suara ronchi dan weezing.
b. Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus cordis 1 cm lateral medial ( 5 ) Pulsasi jantung tampak..
Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin, berkeringat
Perkusi : Suara pekak
Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena jugularis, oedema
c. Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS
Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak mioring ke sisi kanan
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil isokor, gerakan bola mata mampu mengikuti perintah.
Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah dan lendir, bibir tampak kering, terdapat afasia.
Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran pada leher, tidak tampak perbesaran vena jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.
d. Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )
Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan tidak ada, pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus, lesi dan keganasan.
Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.
Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.
e. Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )
Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen normal tidak ada kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan ada, kembung kadang-kadang, terdapat diare, buang air besar perhari.
Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara pekak pada daerah hepar.
Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.
Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun, peristaltik ususnormal.
Rektum : Rectal to see
f. Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif, droop foot, kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.
Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral kulit.
Pola aktivitas sehari-hari
1.
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat; kebiasaan merokok, riwayat peminum alkohol, kesibukan, olah raga.
2.
Pola nutrisi dan metabolisme; makan teratur, minum perhari, kesulitan menelan, diet khusus, BB, postur tubuh, tinggi badan.
3.
Pola eliminasi; BAB dengan jumlah feses, warna feses dan khas, BAK dengan jumlah urine, warna urine dengan kejernihan, pada eliminasi alvi, relative tidak ada gangguan buang air.
4.
Pola tidur dan istirahat; kebiasaan sehari-hari tidur dengan suasana tenang
5.
Pola aktivitas dan latihan; aktivitas sehari-hari bekerja
6.
Pola hubungan dan peran; hubungan dengan orang lain dan keluarga, kooperatif dengan sesamanya.
7.
Pola sensori dan kognitif; mampu melihat dan mendengar serta meraba, disorientasi, reflek.
8.
Pola persepsi dan konsep diri; melakukan kebiasaan bekerja terlalu keras, senang ngobrol dan berkumpul.
9.
Pola seksual dan reproduksi
10.
Pola mekanisme/pola penanggulangan stres dan koping; keluhan tentang penyakit.
11.
Pola tata nilai dan kepercayaan; adnya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh.
12.
Personal higiene; kebiasaan mandi/hari, gosok gigi/hari, dan cuci rambut/minggu.
13.
Ketergantungan; ketergantungan terhadap orang lain terutama keluarga.
14.
Aspek psikologis; cemas akan penyakit, merasa terasing,dan sedikit stres.
15.
Aspek sosial/interaksi; hubungan antar keluarga, teman kerja, maupun masyarakat disekitar tempat tinggal.
16.
Aspek spiritual; ajaran agama, dijalankan setiap saat, mengukui kegiatan agama, pemenuhan kebutuhan spiritualnya.
Pemeriksaan Diagnostik:
*
CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
*
Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
*
X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
*
Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
*
Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Prioritas perawatan:
1. Memaksimalkan perfusi/fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
4. Mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
8. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
*
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
*
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Rencana Tindakan :
1. Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
2. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
4. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
7. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
10. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
11. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
· mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
· bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Rencana tindakan :
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
2. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
3. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
4. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
6. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
7. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
8. Lakukan rontgen thoraks ulang.
9. Berikan oksigenasi.
10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Rencana tindakan :
1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi
4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
Tujuan :Klien merasa nyaman.
Kriteria hasil :
Klien akan melaporkan peningkatan kekuatan/ tahanan dan menyebutkan makanan yang harus dihindari.
Rencana tindakan :
1. Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat diatas abdomen.
R/ tindakan ini meningkatkan relaksasi otot GI dan mengurangi tenaga selama perawatan dan saat klien lemah.
2. Singkirkan pemandangan yang tidak menyenagkan dan bau yang tidak sedap dari lingkungan klien.
R/ pemandangan yang tidak menyenagkan atau bau yang tidak sedap merangsang pusat muntah.
3. Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal :teh encer, air jahe, agar-agar, air) 30-60 ml tiap ½ -2 jam.
R/ cairan dalam jumlah yang kecil cairan tidak akan terdesak area gastrik dan dengan demikian tidak memperberat gejala.
4. Instruksikan klien untuk menghindari hal ini :
clip_image001 Cairan yang panas dan dingin
clip_image001[1] Makanan yang mengandung serat dan lemak (misal; susu, buah)
clip_image001[2] Kafein
R/ Cairan yang dingin merangsang kram abdomen; cairan panas merangsang peristaltik; lemak juga merangsang peristaltik dan kafein merangsang motilitas usus.
5. Lindungi area perianal dari iritasi
R/ sering BAB dengan penigkatan keasaman dapat mengiritasi kulit perianal.
5) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
Tujuan :
· Intake nutrisi meningkat.
· Keseimbangan cairan dan elektrolit.
· Berat badan stabil.
· Torgor kulit dan membran mukosa membaik.
· Membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi diberikan per oral.
· Keluarga mampu menyebutkan pantangan yang tidak boleh dimakan, yaitu makan rendah garam dan rendah lemak.
Kriteria hasil :
Klien dapat mengatakan kondisinya sudah mulai membaik dan tidak lemas lagi. Klien diberikan rentang skala (1-10).
1. Mengkaji keadaan nutrisi untuk mengetahui intake nutrisi klien.
2. Kaji faktor penyebab perubahan nutrisi (klien tidak nafsu makan, klien kurang makan makanan yang bergizi, keadaan klien lemah dan banyak mengeluarkan keringat).
3. Kolaborasi dengan tim gizi tentang pemberian mekanan yang sesuai dengan program diet (rendah garam dan rendah lemak).
4. Membantu keluarga dalam memberikan asupan makanan peroral dan menyarankan klien untuk menghindari makanan yang berpantangan dengan penyakitnya.
5. Membantu memberikan vitamin dan mineral sesuai program.
6. Kolaborasi dengan Tim dokter dalam pemberian Transfusi Infus RD 5% 1500 cc/24 jam dan NaCl.
TRAUMA KEPALA
Written by Bahtiar Latif
Head injury (Trauma kepala) termasuk kejadian trauma pada kulit kepala, tengkorak atau otak.
Batasan trauma kepala digunakan terutama untuk mengetahui trauma cranicerebral, termasuk gangguan kesadaran.
Kematian akibat trauma kepala terjadi pada tiga waktu setelah injury yaitu :
1.Segera setelah injury.
2.Dalam waktu 2 jam setelah injury
3.rata-rata 3 minggu setelah injury.
Pada umumnya kematian terjadi setelah segera setelah injury dimana terjadi trauma langsung pada kepala, atau perdarahan yang hebat dan syok. Kematian yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma disebabkan oleh kondisi klien yang memburuk secara progresif akibat perdarahan internal. Pencatatan segera tentang status neurologis dan intervensi surgical merupakan tindakan kritis guna pencegahan kematian pada phase ini. Kematian yang terjadi 3 minggu atau lebih setelah injury disebabkan oleh berbagai kegagalan sistem tubuh
Faktor 2 yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek adalah adanya intracranial hematoma, peningkatan usia klien, abnormal respon motorik, menghilangnya gerakan bola mata dan refleks pupil terhadap cahaya, hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan hiperkapnea, peningkatan ICP.
Diperkirakan terdapat 3 juta orang di AS mengalami trauma kepala pada setiap tahun. Angka kematian di AS akibat trauma kepala sebanyak 19.3/100.000 orang. Pada umumnya trauma kepala disebabkan oleh kecelakaan laluintas atau terjatuh.
Jenis Trauma Kepala :
1. Robekan kulit kelapa kepala.
Robekan kulit kepala merupakan kondisi agak ringan dari trauma kepala. Oleh karena kulit kepala banyak mengandung pembuluh darah dengan kurang memiliki kemampuan konstriksi, sehingga banyak trauma kepala dengan perdarahan hebat. Komplikasi utama robekan kepala ini adalah infeksi.
2. Fraktur tulang tengkorak.
Fraktur tulang tengkoran tengkorak sering terjadi pada trauma kepala. Beberapa cara untuk menggambarkan fraktur tulang tengkorak :
a.Garis patahan atau tekanan.
b.Sederhana, remuk atau compound.
c.Terbuka atau tertutup.
Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau sampai menembus kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan pukulan, moentum, trauma langsung atau tidak.
Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau sampai menembus kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan pukulan, moentum, trauma langsung atau tidak.
Pada fraktur linear dimana fraktur terjadi pada dasar tengkorak biasanya berhubungan dengan CSF. Rhinorrhea (keluarnya CSF dari hidung) atau otorrhea (CSF keluar dari mata).
Ada dua metoda yang digunakan untuk menentukan keluarnya CSF dari mata atau hidung, yaitu melakukan test glukosa pada cairan yang keluar yang biasanya positif. Tetapi bila cairan bercampur dengan darah ada kecenderungan akan positif karena darah juga mengadung gula. Metoda kedua dilakukan yaitu cairan ditampung dan diperhatikan gumpalan yang ada. Bila ada CSF maka akan terlihat darah berada dibagian tengah dari cairan dan dibagian luarnya nampak berwarna kuning mengelilingi darah (Holo/Ring Sign).
Komplikasi yang cenderung terjadi pada fraktur tengkorak adalah infeksi intracranial dan hematoma sebagai akibat adanya kerusakan menigen dan jaringan otak. Apabila terjadi fraktur frontal atau orbital dimana cairan CSF disekitar periorbital (periorbital ecchymosis. Fraktur dasar tengkorak dapat meyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjunctiva atau edema periorbital.
Commotio serebral :
Concussion/commotio serebral adalah keadaan dimana berhentinya sementara fungsi otak, dengan atau tanpa kehilangan kesadaran, sehubungan dengan aliran darah keotak. Kondisi ini biasanya tidak terjadi kerusakan dari struktur otak dan merupakan keadaan ringan oleh karena itu disebut Minor Head Trauma. Keadaan phatofisiologi secara nyata tidak diketahui. Diyakini bahwa kehilangan kesadaran sebagai akibat saat adanya stres/tekanan/rangsang pada reticular activating system pada midbrain menyebabkan disfungsi elektrofisiologi sementara. Gangguan kesadaran terjadi hanya beberapa detik atau beberapa jam.
Pada concussion yang berat akan terjadi kejang-kejang dan henti nafas, pucat, bradikardia, dan hipotensi yang mengikuti keadaan penurunan tingkat kesadaran. Amnesia segera akan terjadi. Manifestasi lain yaitu nyeri kepala, mengantuk,bingung, pusing, dan gangguan penglihatan seperti diplopia atau kekaburan penglihatan.
Contusio serebral
Contusio didefinisikan sebagai kerusakan dari jaringan otak. Terjadi perdarahan vena, kedua whitw matter dan gray matter mengalami kerusakan. Terjadi penurunan pH, dengan berkumpulnya asam laktat dan menurunnya konsumsi oksigen yang dapat menggangu fungsi sel.
Kontusio sering terjadi pada tulang tengkorak yang menonjol. Edema serebral dapat terjadi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan ICP. Edema serebral puncaknya dapat terjadi pada 12 – 24 jam setelah injury.
Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka tingat kesadaranpun akan berangsur kembali tetapi akan memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila terjadi edema serebral.
Diffuse axonal injury.
Adalah injury pada otak dimana akselerasi-deselerasi injury dengan kecepatan tinggi, biasanya berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor sehingga terjadi terputusnya axon dalam white matter secara meluas. Kehilangan kesadaran berlangsung segera. Prognosis jelek, dan banyak klien meninggal dunia, dan bila hidup dengan keadaan persistent vegetative.
Injury Batang Otak
Walaupun perdarahan tidak dapat dideteksi, pembuluh darah pada sekitar midbrain akan mengalami perdarahan yang hebat pada midbrain. Klien dengan injury batang otak akan mengalami coma yang dalam, tidak ada reaksi pupil, gangguan respon okulomotorik, dan abnormal pola nafas.
Komplikasi :
Epidural hematoma.
Sebagai akibat perdarahan pada lapisan otak yang terdapat pada permukaan bagian dalam dari tengkorak. Hematoma epidural sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergensi dan biasanya berhubungan dengan linear fracture yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematoma berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematoma terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk kedalam ruang epidural. Bila terjadi perdarahan arteri maka hematoma akan cepat terjadi. Gejalanya adalah penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual dan muntah. Klien diatas usia 65 tahun dengan peningkatan ICP berisiko lebih tinggi meninggal dibanding usia lebih mudah.
Subdural Hematoma.
Terjadi perdarahan antara dura mater dan lapisan arachnoid pada lapisan meningen yang membungkus otak. Subdural hematoma biasanya sebagai akibat adanya injury pada otak dan pada pembuluh darah. Vena yang mengalir pada permukaan otak masuk kedalam sinus sagital merupakan sumber terjadinya subdural hematoma. Oleh karena subdural hematoma berhubungan dengan kerusakan vena, sehingga hematoma terjadi secara perlahan-lahan. Tetapi bila disebabkan oleh kerusakan arteri maka kejadiannya secara cepat. Subdural hematoma dapat terjadi secara akut, subakut, atau kronik.
Setelah terjadi perdarahan vena, subdural hematoma nampak membesar. Hematoma menunjukkan tanda2 dalam waktu 48 jam setelah injury. Tanda lain yaitu bila terjadi konpressi jaringan otak maka akan terjadi peningkatan ICP menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan nyeri kepala. Pupil dilatasi. Subakut biasanya terjadi dalam waktu 2 – 14 hari setelah injury.
Kronik subdural hematoma terjadi beberapa minggu atau bulan setelah injury. Somnolence, confusio, lethargy, kehilangan memory merupakan masalah kesehatan yang berhubungan dengan subdural hematoma.
Intracerebral Hematoma.
Terjadinya pendarahan dalamn parenkim yang terjadi rata-rata 16 % dari head injury. Biasanya terjadi pada lobus frontal dan temporal yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah intraserebral pada saat terjadi injury. Akibat robekan intaserebral hematoma atau intrasebellar hematoma akan terjadi subarachnoid hemorrhage.
Collaborative Care.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memonitor hemodinamik dan mendeteksi edema serebral. Pemeriksaan gas darah guna mengetahui kondisi oksigen dan CO2.
Okdigen yang adekuat sangat diperlukan untuk mempertahankan metabolisma serebral. CO2 sangat beepengaruh untuk mengakibatkan vasodilator yang dapat mengakibatkan edema serebral dan peningkatan ICP. Jumlah sel darah, glukosa serum dan elektrolit diperlukan untuk memonitor kemungkinan adanya infeksi atau kondisi yang berhubungan dengan lairan darah serebral dan metabolisma.
CT Scan diperlukan untuk mendeteksi adanya contusio atau adanya diffuse axonal injury. Pemeriksaan lain adalah MRI, EEG, dan lumbal functie untuk mengkaji kemungkinan adanya perdarahan.
Sehubungan dengan contusio, klien perlu diobservasi 1 – 2 jam di bagian emergensi. Kehilangan tingkat kesadaran terjadi lebih dari 2 menit, harus tinggal rawat di rumah sakit untuk dilakukan observasi.
Klien yangmengalami DAI atau cuntusio sebaiknya tinggal rawat di rumah sakit dan dilakukan observasi ketat. Monitor tekanan ICP, monitor terapi guna menurunkan edema otak dan mempertahankan perfusi otak.
Pemberian kortikosteroid seperti hydrocortisone atau dexamethasone dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi. Pemberian osmotik diuresis seperti mannitol digunakan untuk menurunkan edema serebral.
Klien dengan trauma kepala yang berat diperlukan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal dan mencegah kecacatan yang nmenetap. Dapat juga diberikan infus, enteral atau parenteral feeding, pengaturan posisi dan ROM exercise untuk mensegah konraktur dan mempertahankan mobilitas.
Catatan kaki:
Tugas Keperawatan Medikal Bedah
Langganan:
Postingan (Atom)